Tuesday, August 31, 2010

SATU BULAN BELAJAR TENTANG SERANGGA

Tiada terasa akhirnya anak-anak sudah belajar di School of Life Lebah Putih selama satu bulan.Two Thumbs up! untuk putra-putri ayah dan bunda, karena pada pekan ke tiga mereka sudah tidak ada lagi yang menangis minta ditungguin, bahkan sudah mulai berani belajar sendiri, bermain di alam dan banyak mengeluarkan pertanyaan. Salut juga untuk kakak-kakak yang dengan sabar melatih anak-anak untuk beradaptasi.

Masa awal masuk sekolah memng membutuhkan energi yang luar biasa, tapi kakak-kakak dengan semangat menyiapkan materi bulan ini dengan tema serangga (insect).
Mulai dari belajar tentang butterfly (kupu-kupu), honey bee (lebah madu), ant (semut) dan grasshopper (belalang) sebagai penutup tema serangga.
Di kelas Intellectual Curiosity yang dipandu Kak Etty, anak-anak mulai belajar tentang cara daur hidup serangga melalui tayangan video, kemudian berkreasi dan menemukan beberapa kosa
kata baru tentang serangga bersama kak Dian di kelas Creative Imagination.



Di kelas Art of Discovery, anak-anak belajar tentang matematika dan sains yang selalu dihubungkan dengan serangga, dipandu oleh kak Heni, dan mereka belajar memahami tentang kehidupan sosial serangga, budi pekerti dan bahasa inggris di kelas Noble Attitude bersama Kak Sani.

Memasuki bulan Ramadhan, kegiatan Morning Activity yang dipandu oleh kak Amin mulai punya nuansa yang berbeda, anak-anak tiap pagi mulai belajar mengenal huruf hijaiyah dan belajar sholat Dhuha, yang nantinya akan menjadi pembiasaaan buat anak-anak, secara rutin mereka akan lakukan setiap pagi.

Tuesday, August 17, 2010

TRASHION MERAH PUTIH DI LEBAH PUTIH

MERDEKA!!

"Ngggggg...ngggggggggh" serangga berdatangan, suasana menjadi hiruk pikuk dengan teriakan anak-anak,hamparan rumput semakin terlihat warna-warni saat diserbu pasukan serangga merah putih.



Pagi yang cerah, di hari Merdeka, anak-anak Lebah Putih membuat sejarah. Mereka merayakan hari Kemerdekaan RI dengan mengadakan upacara bendera. Kali ini Upacara Benderanya lain daripada yang lain.Anak-anak mengenakan kostum serangga bernuansa merah putih.Karena kebetulan Hari Kemerdekaan ini bertepatan dengan penutupan Tema Belajar anak-anak yang sudah satu bulan ini belajar tentang insect (serangga).

Work With Parent(WWP) adalah salah satu program di School of Life Lebah Putih, untuk melibatkan orangtua dalam setiap kegiatan belajar anak di rumah. Salah satu tugas dari WWP ini adalah para ayah bunda diminta bekerjasama dengan ananda membuat kostum serangga bernuansa merah putih berbahan baku barang bekas yang ada di rumah.Jadi misi kegiatan kali ini anak-anak School of Life Lebah Putih merayakan Kemerdekaan dengan peduli lingkungan "Trashion Merah Putih di Lebah Putih" gitulah judul tepatnya.

Meski sudah diberitahu beberapa minggu sebelumnya, namanya orangtua ternyata macam-macam ceritanya.Mulai dari kehabisan ide mau bikin kostum seperti apa, sampai acara lembur hingga sahur, gara-gara ide baru muncul setelah sholat tarawih di malam detik-detik terakhir.
Ada juga yang baru bikin saat perjalanan di mobil, menyempurnakan bentuk sebelumnya.




"Bunda, ini gulingnya Yardan waktu kecil, diubah jadi badannya kumbang, dan topinya dari bolanya yang udah nggak kepakai dibelah jadi dua", cerita ibu Yardan dengan penuh semangat.

"Bunda, kami menghabiskan tas kresek (plastik-red) merah putih di rumah banyak sekali..jadilah baju kupu-kupu yang indah", cerita ibu Dayla yang berhasil membuat kostum cantik untuk putrinya dari bahan baku tas plastik.

Kereeeen dan salut untuk para orangtua, Two Thumbs up!. Mereka sudah terlibat dalam kepedulian lingkungan dengan mendaur ulang sampah. Karena sebenarnya Indonesia itu tidak punya sampah, hanya bahan baku yang belum diolah.


Upacara Kemerdekaan di School of Life Lebah Putih jadi bener-bener berbeda, unik. Semua orangtua menyempatkan hadir untuk melihat anak-anaknya upacara. Bahkan eyang, tante, om nyapun ikut hadir penasaran dengan upacara di Lebah Putih.

Upacarapun berlangsung sederhana dan khidmat, anak-anak menghormat bendera merah putih yang diletakkan di sebilah bambu, dan mereka menyanyikan lagu hari Merdeka dengan penuh semangat.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan parade kostum, anak-anak berlarian memberikan warna untuk Indonesia.

Dirgahayu Indonesiaku, Bersih Sampahku....

Saturday, August 7, 2010

CATATAN MENARIK UNTUK PARA PENDIDIK


Kisah Dr. Renald Kasali:

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?" "Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat .

"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun melanjutkan argumentasinya.

"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang -terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyaka n ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaa n, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru- guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak- anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.

"Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna) , tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin.
Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Write Your ideas:

..........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

Sunday, July 25, 2010

ANAK LEBAH PUTIH, MENYELAMATKAN BUMI





Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional tanggal 22 Juli 2010, anak-anak School of Life Lebah Putih menyelenggarakan kegiatan menanam pohon. Pohon-pohon buah tersebut berasal dari pohon-pohon yang mereka bawa dari rumah sebagai salah satu persyaratan untuk masuk menjadi anggota komunitas School of Life Lebah Putih.





Ada yang membawa pohon pisang sampai pohon mangga gedeee sekali. Semua bergembira menanam pohon, kali ini anak-anak calon pemimpin bangsa mulai peduli terhadap lingkungannya, karena mereka masih hidup berpuluh-puluh tahun lagi, "Ayah...bunda jangan rusak alam kami, ayo makan buahnya jangan lupa tanam bijinya, sebelum menebang satu pohon, tanam dulu 5 batang pohon yang muda, biar sekolah kami tetap hijau, rumah kami tetap hijau dan alam kami tetap hijau".

Ada salah satu anak yang sempat bertanya "Bunda, aku suka sekolahan ini,nanti jangan diijinkan orang-orang yang punya tanah di sekitar ini membangun ya bunda, biar tetap hijau"

Wednesday, July 21, 2010

SEKOLAH INKLUSI, SEKOLAH MAQOM TERTINGGI

SEKOLAH INKLUSI, SEKOLAH MAQOM TERTINGGI
By Munif Chatib

Seorang sahabat, pemilik sekolah TK mengirim email kepada saya. Isi email itu adalah proposal dari kepala sekolah TK yang intinya mengajukan dana sebesar Rp. 180.000.000,- untuk mengubah warna cat gedung sekolahnya, mengganti logo dan motto sekolahnya, memindahkan playground dari halaman depan ke belakang, dan lain-lain. Yang menarik adalah alasan sang kepala sekolah mengganti itu semua. Alasannya adalah sekolah itu sudah merasa hebat, unggul, maju, favorit atau apapun namanya. Memang saya mendengar sekolah ini luar biasa, kepercayaan masyarakatnya sangat besar. Bayangkan pendaftaran siswa baru hanya dibuka dua hari, langsung seluruh kapasitas bangku penuh. Hebat kan? Nah karena sudah merasa di ‘puncak’ gunung, maka muncullah proposal untuk mengganti hal-hal yang bernuansa ‘context’ agar memberi ruangan ‘refresh; kepada semua guru.

Sahabat ini meminta pendapat saya. Langsung saya tanya bagaimana sistem perekrutan siswanya? Beliau menjawab, PSB nya sangat selektif, bahkan menggunakan tes masuk. Mengingat keterbatasan bangku, yang diterima adalah siswa yang sudah ‘matang’ untuk bersekolah dengan serangkaian alat tes. Langsung juga saya katakan dengan permohonan maaf terlebih dahulu bahwa sekolah anda belum di puncak. Sekolah anda masih di lereng gunung. Jika ingin mendaki di puncak maka rencanakan tahun depan ajaran baru sekolah anda menjadi sekolah inklusi. Insyaallah dana Rp. 180.000.000,- lebih dari cukup. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang menarik tentang apa sekolah inklusi itu.

Seorang kepala sekolah mengatakan kepada saya bahwa dia tidak setuju sekolahnya dikukuhkan sebagai sekolah inklusi sebab dikhawatirkan semua wali murid akan menarik anak-anaknya yang ‘normal’ (saya tidak suka menyebut anak ‘normal’ dan ‘tidak normal’, saat ini terpaksa) sebab ketakutan jika dikumpulkan bersama anak-anak yang tidak normal. Saya sangat tahu bahwa kepala sekolah ini masih belum paham tentang apa yang dimaksud sekolah inklusi.
Walhasil, semoga tulisan ini dapat membantu memberi pemahaman yang benar tentang sekolah inklusi.

Sekolah Inklusi dan SLB

Pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan pada bulan Juni 1994 memunculkan konsep baru pendidikan yaitu ‘SEKOLAH INKLUSI’ yaitu sekolah yang mempunyai prinsip mendasar yang memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Sekolah inklusi adalah layanan pendidikan yang semaksimal mungkin mengakomodasi semua anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus atau anak luar biasa di sekolah atau lembaga pendidikan (diutamakan yang terdekat dengan tempat tinggal anak) bersama dengan teman-teman sebayanya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.(Tim Pendidikan Inklusi Jawa Barat, 2003:4)

Pendapat lain mengatakan Sekolah Inklusi adalah sekolah yang memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali. Pendidikan yang memberikan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik di kelas/ sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. (Pendidikan yang Terbuka Bagi Semua, Djuang Sunanto, 2004:3)
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah:
1. Pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, emosional, sosial maupun kondisi lainnya.
2. Pendidikan yang memungkinkan semua anak belajar bersama-sama tanpa memandang perbedaan yang ada pada mereka.
3. Pendidikan yang berupaya memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan kemampuannya.

Menurut saya, perbedaan yang mendasar dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah SLB hanya menerima siswa yang berkebutuhan khusus (ABK), di dalamnya tidak terdapat anak-anak yang tidak mempunyai hambatan. Sedangkan sekolah inklusi adalah yang di dalamnya terdapat anak yang berkebutuhan khusus dan anak-anak yang tidak mempunyai hambatan.

Target Sekolah Inklusi

Target untuk anak yang berkebutuhan khusus (ABK) adalah sebagai berikut:
1. Interpersonal. Yaitu mengembangkan kemampuan interpersonal, yaitu memberikan kesempatan ABK untuk berinteraksi dengan lingkungan yang ‘normal’. Hal ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ABK. Pengembangan interpersonal inilah yang menjadi target terbesar untuk ABK. Jika seorang ABK sudah mampu dan tidak malu untuk berinteraksi dengan lingkungannya berarti sekolah inklusi itu berhasil.
2. Fokus. Yaitu melakukan intervensi terhadap fokus hambatannya, sehingga hambatan ABK dari tahun ke tahun dapat diperkecil.
3. Product. Yaitu target mengembangkan kemampuan maksimal ABK untuk memunculkan produk-produk yang mempunyai benefiditas, minimal untuk dirinya sendiri.

Target untuk anak yang tidak mempunyai hambatan adalah sebagai berikut;
1. Memberikan pemahaman dan pengalaman nyata kepada siswa-siswa yang lain bahwa di dunia ini berisi anak-anak yang berbeda, tidak ada yang sama. Sehingga anak-anak kita sangat peduli dengan perbedaan.
2. Membangun akhlak kepedulian dan toleransi terhadap teman yang mempunyai hambatan. Artinya kecerdasan interpersonal anak-anak kita juga akan terasah dengan mereka mempunyai sahabat anak-anak ABK.
3. Membangun nilai-nilai afektif yang sangat efektif.

Memang persiapan sumber daya manusia sekolah inklusi harus diperhatikan, antara lain:
1. Shadow Teacher, adalah guru pendamping yang mendampingi anak ABK dalam kelas reguler. Tugas shadow teacher adalah mereduksi indikator hasil belajar dalam bentuk IEP (Individualized Education Plan) dan ICP (Individual Curriculum Plan).
2. Terapis, adalah tenaga profesional yang membantu ABK sesuai dengan jenis hambatannya.

Menurut penulis, dan pengalaman banyak sekolah inklusi di Indonesia, sedikitnya tenaga-tenaga di atas menyebabkan sekolah inklusi mencari solusi yang terbaik. Hal ini wajar, sebab kebutuhan akan sekolah inklusi tambah lama tambah banyak. Anak-anak yang ABK terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Menurut Kepala Balai Pendidikan Khusus, Dinas Pendidikan Jateng, Susnadati, dari 37.000 ABK yang berada di wilayah Jateng sedikitnya ada 10.300 siswa yang telah mengeyam pendidikan secara layak. Sementara 26.500 ABK yang berada di usia TK, SD, SMP dan SMA belum mendapatkan pendidikan layak di sekolah inklusi maupun pendidikan luar biasa. Menurutnya, tingginya jumlah anak yang tidak bersekolah tersebut lantaran masyarakat masih menganggap anak tersebut sebagai aib keluarga. (Solo Pos, 17 Juni 2010).

Setiap Guru adalah terapis dan shadow

Sebenarnya kebutuhan tenaga terapis dan shadow teacher yang sangat minim dapat diatasi, apabila guru induk (main teacher) menguasai teknik-teknik dasar dan tingkat lanjut tugas shadow dan terapis. Saya pernah bertanya kepada Pak Ciptono, penulis buku best seller Guru Luar Biasa dan kepala sekolah SLB di Semarang, apakah bisa guru induk mempunyai kemampuan shadow dan terapis. Beliau menjawab sangat bisa asal gurunya ‘MAU’. Belakangan saya menyadarai maksud ‘MAU’ dari pak Ciptono itu adalah kepala sekolah dan guru harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Kepala Sekolah dan guru yang mempunyai paradigma bahwa setiap anak dengan segala macam kondisi berhak untuk sekolah.
2. Kepala Sekolah dan guru yang mempunyai paradigma bahwa setiap anak mempunyai multiple intelligennce yang beragam.
3. Kepala Sekolah dan guru yang mempunyai kesabaran dan ketekunan mendidik. Artinya profesi guru itu bersumber dari hati dan cinta kepada siswanya, bukan faktor yang lain. Jika kepala sekolah dan gurunya tidak mau repot, biasanya mereka akan gagal.
4. Kepala Sekolah dan guru yang ikhlas mengajar dan belajar, sehingga siswanya yang mempunyai hambatan malah menjadi sumber belajar.

Mungkin masih banyak lagi kriteria kemauan guru untuk menjadi GURUNYA MANUSIA. Apabila anda sebagai kepala sekolah atau sebagai guru merasa belum mampu menjadikan sekolah anda SEKOLAH INKLUSI dengan segala macam masalah dan alasan, maka itu sah-sah saja. Sebab hal ini terkait dengan visi dan misi sekolah. Namun alangkah indahnya jika kepala sekolah dan guru yang tidak siap dengan SEKOLAH INKLUSI, tidak memberikan informasi yang salah kepada masyarakat.

Praktis, jika semua guru mampu melaksanakan tugas shadow dan terapis, masalah jumlah yang tinggi ABK dapat tertampung pada semua sekoalh reguler.

Semoga dengan tulisan ini, kita semua sebagai insan pendidikan memahami tingkatan maqom sebuah sekolah. Percayalah maqom tertinggi dari sebuah sekolah itu adalah SEKOLAH INKLUSI. Nah ... setelah ini, saya mengajak semua komponen pendidikan untuk bersatu padu, bergandeng tangan untuk mendukung sekolah inklusi. Bukan sebaliknya mencerca sekolah inklusi, anti dengan sekolah inklusi.

Semoga Allah membangunkan istana di akhirat kelak untuk para kepala sekolah dan para guru yang dengan hati dan cinta membangun dan menyelenggarakan sekolah inklusi. Sebab nilai-nilai kemanusiaan akan terbangun dari sekolah-sekolah tersebut.
Amin ya robbal alamien.

Tuesday, July 13, 2010

PERMAINAN TRADISIONAL DI ALOHA LIBURAN







Permainan tradisional sudah semakin asing di dunia anak-anak jaman digital saat ini. Mereka lebih akrab dengan komputer dibandingkan dengan gobak sodor. Mereka lebih familiar dengan game-game digital dibandingkan dengan permainan yang memanfaatkan alam di sekitar rumahnya. Hal ini secara sadar maupun tidak akan mengubah karakter anak secara perlahan namun pasti. Sifat ego anak-anak jaman sekarang lebih tinggi dibandingkan sifat sosialnya. Karena mereka sangat akrab dengan permainan individual dibandingkan permainan tradisional yang lebih banyak menerapkan kegiatan berkelompok, bersosial dsb.

Untuk itulah di acara Aloha Liburan School ofLife Lebah Putih yang diselenggarakan dari tanggal 5-8 Juli 2010 kami mengajak anak-anak kembali ke dunia bermain yang alami memnfaatkan barang-barang yang ada di sekitar mereka dan mendaur ulang barang bekas menjadi sarana yang lebih bermanfaat.

Kegiatan Aloha Liburan School of Life Lebah Putih ini meliputi :

1. Pengenalan kostum tradisional Jawa
Disini para fasilitator menggunakan pakaian adat jawa berupa kain batik dan caping yang dimodifikasi menjadi aneka bentuk kostum sehingga membuat mereka tetap merasa nyaman menjadi fasilitator bermain bersama anak-anak. Kostum fasilitator yang berbeda ini sangat penting karena anak-anak serasa sudah masuk dalam aura tempat yang berbeda.

2. Pengenalan Permainan Tradisional
Di acara morning activity, anak-anak dibebaskan memilih permainan yang sudah tersedia antara lain engklek, lompat tali, dakon dan egrang batok kelapa. Mereka merasakan satu persatu permainan yang mulai asing dari kehidupan mereka sehari-hari.

3. Little Musician
Kehadiran grup musik Cycle menambah hidupnya suasana aloha liburan kali ini. Anak-anak dibuka wawasannya bahwa barang bekas bisa didaur ulang menjadi alat musik yang sangat indah dan unik. Mereka dibebaskan untuk memainkan alat musik yang tersedia lebih dulu, kemudian melihat grup Cycle bermain, dan akhirnya anak-anak memiliki gaya sendiri dalam memainkan alat musiknya.

4.Aha Aku Bisa!
Anak-anak diajak untuk membuat alat musik sendiri dari botol-botol yang diisi air sehingga menjadi tangga nada. Dengan sendok sebagai alat pukulnya mereka bisa menyanyikan satu buah lagu anak sederhana diiringi alat musik gitar oleh Elan dan botol berisi air.

5.Yook Buat Wayang
Di session terakhir anak-anak mendengarkan wayang dan membuat sendiri wayang dari kardus susu untuk dibawa pulang

Waaaah seru sekali acara liburan kali ini di School of Life Lebah Putih....ayo yang belum ikut tahun ini, jangan terlewat mendaftarkan diri di tahun depan ya, pasti lebuh seru....

Konsep Penerimaan Siswa Baru


KONSEP PENERIMAAN SISWA BARU
sebuah paradigma yang manusiawi
By Munif Chatib

Betapa banyak kekecewaan, kesal bahkan marah dari banyak orangtua yang putra putrinya gagal memasuki sekolah pada tahun ajaran baru ini. Baik sekolah yang dituju adalah sekolah negeri atau swasta. Pada sisi lain, terjadi pembentukan kaki-kaki negatif pada ‘self image’ anak atau konsep diri anak. Perasaan ‘bodoh’, ‘lemah’, ‘kalah bersaing’, ‘lebih baik anak lain daripada aku’, dan jutaan lagi perasaan negatif yang terjadi pada diri anak-anak kita. Bayangkan kalau peruntuhan kepercayaan diri ini terjadi setiap tahun di negeri ini.

Berikut ini beberapa pernyataan yang menimbulkan gema kekecewaan tersebut:
“Maaf anak ibu/bapak belum dapat di terima di SD ini, sebab dari hasil tes kematangannya, dia belum matang”.

“Maaf anak ibu/bapak belum dapat bergabung di SD ini, sebab masih belum bisa membaca dengan cepat, kami kuatir nanti anak ini tertinggal dengan anak yang lain”.

“Maaf anak ibu/bapak belum dapat diterima di SD ini, sebab belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik”.

“Maaf anak ibu/bapak tidak diterima masuk ke SMP/SMA ini, sebab nilai NEM nya kurang, sayang sekali hanya kurang 0.5”.

“Maaf anak ibu/bapak belum bisa menjadi siswa SMP/SMA ini, sebab dari hasil psikotes kami, kemampuan anak ini di bawah rata-rata”.

“Maaf anak ibu/bapak belum dapat diterima di SMP/SMA ini, sebab tes kemampuan kognitif anak ibu hanya 7.4. Sekolah ini menerima siswa yang hasil tesnya 7.5 ke atas”.

“Maaf, kami tidak menerima anak-anak yang berkebutuhan khusus, mungkin bisa di sekolah lain saja”.

Mungkin jika saya teruskan pernyataan maaf ini panjangnya bisa menjadi 100 halaman. Persoalannya adalah apakah benar konsep untuk masuk sekolah anak kita harus melewati serangkaian tes, yang mana ujungnya akan mempunyai dua kemungkinan, yaitu DITERIMA atau DITOLAK.

Sekolah vs Perusahaan

Perusahaan adalah institusi yang di dalamnya harus diisi oleh orang-orang yang menunjukkan produktivitas. Jangan sampai ada salah dan lemah. Wajar, agar perusahaan itu maju. Produk atau jasa yang dijualnya dapat laku. Oleh sebab itu untuk merekrut karyawannya, setiap perusahaan mempunyai pola rekrutmen yang ketat. Rekrutmen ini menggunakan konsep ranking. Calon karyawan dengan nilai tes tertinggi yang mempunyai kemungkinan besar diterima.

Sedangkan sekolah adalah intitusi belajar, yang mana di dalamnya harusnya wajar berisi siswa-siswa yang tidak bisa, siswa-siswa yang berbuat salah. Sebab untuk itulah institusi sekolah itu dibangun. Mengajarkan bagaimana anak yang awalnya tidak bisa menjadi bisa, atau anak yang awalnya salah menjadi benar. Institusi sekolah mestinya mirip dengan balita yang ingin belajar berlari. Awalnya berdiri, jatuh. Lalu berjalan, jatuh lagi. Kemudian berlari, yang juga di awali dengan jatuh sana jatuh sini, sampai akhirnya dapat berlari cepat.

Sayangnya, yang sekarang terjadi pada sistem penerimaan siswa baru kita adalah konsep perusahaan di tarik dan diterapkan pada konsep sekolah. Jika hal ini terus diselenggarakan, maka akan terjadi banyak peruntuhan kepercayaan diri generasi muda kita. Setiap anak akan mendapat pengalaman ‘AKU GAGAL’ setiap tahunnya.

Screening vs Planning

Screening adalah penyaringan atau penyeleksian yang digunakan untuk menyeleksi beberapa orang untuk dapat masuk dan mengikuti sebuah institusi kerja. Institusi kerja adalah institusi yang sudah mempunyai ‘standard operation procedure’ (SOP) dan berharap orang yang masuk mampu melakukan SOP tersebut. Oleh sebab itu screening membutuhkan analisa jabatan, job discription, kualifikasi, dan serentetan tes. Hasil screening ada dua kemungkinan, yaitu DITERIMA atau DITOLAK. Praktis screening tepat untuk institusi perusahaan.

Planning adalah penyusunan perencanaan program yang disesuaikan dengan orang-orang yang terdapat dalam sebuah institusi belajar. Artinya orang yang masuk institusi ini harus diektahui kondisinya, kemudian dibuatkan perencanaan program agar orang tersebut mampu meraih target yang ditentukan. Dalam planning dibutuhkan data sebanyak mungkin data orang-orang yang mendaftar. Makin banyak data, makin mudah menyusun perencanaan program untuk setiap orang. Dan dalam planning tidak ada orang yang DITERIMA atau DITOLAK. Semuanya diterima. Planning inilah yang tepat untuk konsep penerimaan baru di institusi sekolah.

The Best Process vs The Best Input

Sekolah mestinya menganut konsep the best process, bukan the best input. Seluruh komponen sekolah akan mempunyai peluang besar menjadi ‘agent of change’ jika penerimaan siswa barunya tidak melakukan serangkaian tes-tes masuk yang ketat. Sebab jika yang masuk hanya siswa pandai dan baik, maka peluang menjadi agent of change menjadi tereduksi.
Sekolah yang baik adalah yang menerima siswa-siswanya dengan kondisi apapun, namun sekolah tersebut mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan siswanya yang jelas terlihat maupun kemampuan yang tersembunyi.

Himbauan orangtua sebagai konsumen pendidikan

Kita sebagai orangtua dari anak-anak kita yang sedang menuntut ilmu dan sekaligus menjadi konsumen pendidikan, harus mempunyai paradigma kualitas sekolah yang baik untuk anak-anak kita. Kubur sudah paradigma sekolah unggul adalah sekolah yang masuknya sulit, dengan dertasn tes-tes yang ketat. Percayalah sekolah semacam itu adalah sekolah yang tidak siap menerima siswa yang mempunyai kelemahan dan hambatan. Sehingga kemampuan guru-gurunya patut dipertanyakan. Kita sebagai masyarakatlah yang secara tidah sadar mempertahankan paradigma yang salah ini, dengan bangga sekali ketika harus menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang ‘gila tes masuk’. Sebaliknya jika ada sekolah yang menerima siswanya tanpa tes, malah kita dengan mudah mengatakan sekolah tersebut tidak bermutu. Ayo ubah paradigma kita menjadi yang benar, agar anak kita tidak menjadi korban.
Betapa banyak sekolah-sekolah yang menomorsatukan kemampuan kognitif melahirkan generasi-generasi yang tidak kreatif dan yang rapuh ketika menemui masalah kehidupan sebenarnya.
Semoga tulisan ini berguna buat kita sebagai orangtua yang menginginkan pendidikan berkualitas bagi anak-anaknya.