Tuesday, August 31, 2010

SATU BULAN BELAJAR TENTANG SERANGGA

Tiada terasa akhirnya anak-anak sudah belajar di School of Life Lebah Putih selama satu bulan.Two Thumbs up! untuk putra-putri ayah dan bunda, karena pada pekan ke tiga mereka sudah tidak ada lagi yang menangis minta ditungguin, bahkan sudah mulai berani belajar sendiri, bermain di alam dan banyak mengeluarkan pertanyaan. Salut juga untuk kakak-kakak yang dengan sabar melatih anak-anak untuk beradaptasi.

Masa awal masuk sekolah memng membutuhkan energi yang luar biasa, tapi kakak-kakak dengan semangat menyiapkan materi bulan ini dengan tema serangga (insect).
Mulai dari belajar tentang butterfly (kupu-kupu), honey bee (lebah madu), ant (semut) dan grasshopper (belalang) sebagai penutup tema serangga.
Di kelas Intellectual Curiosity yang dipandu Kak Etty, anak-anak mulai belajar tentang cara daur hidup serangga melalui tayangan video, kemudian berkreasi dan menemukan beberapa kosa
kata baru tentang serangga bersama kak Dian di kelas Creative Imagination.



Di kelas Art of Discovery, anak-anak belajar tentang matematika dan sains yang selalu dihubungkan dengan serangga, dipandu oleh kak Heni, dan mereka belajar memahami tentang kehidupan sosial serangga, budi pekerti dan bahasa inggris di kelas Noble Attitude bersama Kak Sani.

Memasuki bulan Ramadhan, kegiatan Morning Activity yang dipandu oleh kak Amin mulai punya nuansa yang berbeda, anak-anak tiap pagi mulai belajar mengenal huruf hijaiyah dan belajar sholat Dhuha, yang nantinya akan menjadi pembiasaaan buat anak-anak, secara rutin mereka akan lakukan setiap pagi.

Tuesday, August 17, 2010

TRASHION MERAH PUTIH DI LEBAH PUTIH

MERDEKA!!

"Ngggggg...ngggggggggh" serangga berdatangan, suasana menjadi hiruk pikuk dengan teriakan anak-anak,hamparan rumput semakin terlihat warna-warni saat diserbu pasukan serangga merah putih.



Pagi yang cerah, di hari Merdeka, anak-anak Lebah Putih membuat sejarah. Mereka merayakan hari Kemerdekaan RI dengan mengadakan upacara bendera. Kali ini Upacara Benderanya lain daripada yang lain.Anak-anak mengenakan kostum serangga bernuansa merah putih.Karena kebetulan Hari Kemerdekaan ini bertepatan dengan penutupan Tema Belajar anak-anak yang sudah satu bulan ini belajar tentang insect (serangga).

Work With Parent(WWP) adalah salah satu program di School of Life Lebah Putih, untuk melibatkan orangtua dalam setiap kegiatan belajar anak di rumah. Salah satu tugas dari WWP ini adalah para ayah bunda diminta bekerjasama dengan ananda membuat kostum serangga bernuansa merah putih berbahan baku barang bekas yang ada di rumah.Jadi misi kegiatan kali ini anak-anak School of Life Lebah Putih merayakan Kemerdekaan dengan peduli lingkungan "Trashion Merah Putih di Lebah Putih" gitulah judul tepatnya.

Meski sudah diberitahu beberapa minggu sebelumnya, namanya orangtua ternyata macam-macam ceritanya.Mulai dari kehabisan ide mau bikin kostum seperti apa, sampai acara lembur hingga sahur, gara-gara ide baru muncul setelah sholat tarawih di malam detik-detik terakhir.
Ada juga yang baru bikin saat perjalanan di mobil, menyempurnakan bentuk sebelumnya.




"Bunda, ini gulingnya Yardan waktu kecil, diubah jadi badannya kumbang, dan topinya dari bolanya yang udah nggak kepakai dibelah jadi dua", cerita ibu Yardan dengan penuh semangat.

"Bunda, kami menghabiskan tas kresek (plastik-red) merah putih di rumah banyak sekali..jadilah baju kupu-kupu yang indah", cerita ibu Dayla yang berhasil membuat kostum cantik untuk putrinya dari bahan baku tas plastik.

Kereeeen dan salut untuk para orangtua, Two Thumbs up!. Mereka sudah terlibat dalam kepedulian lingkungan dengan mendaur ulang sampah. Karena sebenarnya Indonesia itu tidak punya sampah, hanya bahan baku yang belum diolah.


Upacara Kemerdekaan di School of Life Lebah Putih jadi bener-bener berbeda, unik. Semua orangtua menyempatkan hadir untuk melihat anak-anaknya upacara. Bahkan eyang, tante, om nyapun ikut hadir penasaran dengan upacara di Lebah Putih.

Upacarapun berlangsung sederhana dan khidmat, anak-anak menghormat bendera merah putih yang diletakkan di sebilah bambu, dan mereka menyanyikan lagu hari Merdeka dengan penuh semangat.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan parade kostum, anak-anak berlarian memberikan warna untuk Indonesia.

Dirgahayu Indonesiaku, Bersih Sampahku....

Saturday, August 7, 2010

CATATAN MENARIK UNTUK PARA PENDIDIK


Kisah Dr. Renald Kasali:

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?" "Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat .

"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun melanjutkan argumentasinya.

"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang -terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyaka n ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaa n, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru- guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak- anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.

"Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna) , tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin.
Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Write Your ideas:

..........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................