SEKOLAH INKLUSI, SEKOLAH MAQOM TERTINGGI
By Munif Chatib
Seorang sahabat, pemilik sekolah TK mengirim email kepada saya. Isi email itu adalah proposal dari kepala sekolah TK yang intinya mengajukan dana sebesar Rp. 180.000.000,- untuk mengubah warna cat gedung sekolahnya, mengganti logo dan motto sekolahnya, memindahkan playground dari halaman depan ke belakang, dan lain-lain. Yang menarik adalah alasan sang kepala sekolah mengganti itu semua. Alasannya adalah sekolah itu sudah merasa hebat, unggul, maju, favorit atau apapun namanya. Memang saya mendengar sekolah ini luar biasa, kepercayaan masyarakatnya sangat besar. Bayangkan pendaftaran siswa baru hanya dibuka dua hari, langsung seluruh kapasitas bangku penuh. Hebat
Sahabat ini meminta pendapat saya. Langsung saya tanya bagaimana sistem perekrutan siswanya? Beliau menjawab, PSB nya sangat selektif, bahkan menggunakan tes masuk. Mengingat keterbatasan bangku, yang diterima adalah siswa yang sudah ‘matang’ untuk bersekolah dengan serangkaian alat tes. Langsung juga saya katakan dengan permohonan maaf terlebih dahulu bahwa sekolah anda belum di puncak. Sekolah anda masih di lereng gunung. Jika ingin mendaki di puncak maka rencanakan tahun depan ajaran baru sekolah anda menjadi sekolah inklusi. Insyaallah dana Rp. 180.000.000,- lebih dari cukup. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang menarik tentang apa sekolah inklusi itu.
Seorang kepala sekolah mengatakan kepada saya bahwa dia tidak setuju sekolahnya dikukuhkan sebagai sekolah inklusi sebab dikhawatirkan semua wali murid akan menarik anak-anaknya yang ‘normal’ (saya tidak suka menyebut anak ‘normal’ dan ‘tidak normal’, saat ini terpaksa) sebab ketakutan jika dikumpulkan bersama anak-anak yang tidak normal. Saya sangat tahu bahwa kepala sekolah ini masih belum paham tentang apa yang dimaksud sekolah inklusi.
Walhasil, semoga tulisan ini dapat membantu memberi pemahaman yang benar tentang sekolah inklusi.
Sekolah Inklusi dan SLB
Pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan pada bulan Juni 1994 memunculkan konsep baru pendidikan yaitu ‘SEKOLAH INKLUSI’ yaitu sekolah yang mempunyai prinsip mendasar yang memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Sekolah inklusi adalah layanan pendidikan yang semaksimal mungkin mengakomodasi semua anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus atau anak luar biasa di sekolah atau lembaga pendidikan (diutamakan yang terdekat dengan tempat tinggal anak) bersama dengan teman-teman sebayanya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.(Tim Pendidikan Inklusi Jawa Barat, 2003:4)
Pendapat lain mengatakan Sekolah Inklusi adalah sekolah yang memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali. Pendidikan yang memberikan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik di kelas/ sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. (Pendidikan yang Terbuka Bagi Semua, Djuang Sunanto, 2004:3)
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah:
1. Pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, emosional, sosial maupun kondisi lainnya.
2. Pendidikan yang memungkinkan semua anak belajar bersama-sama tanpa memandang perbedaan yang ada pada mereka.
3. Pendidikan yang berupaya memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan kemampuannya.
Menurut saya, perbedaan yang mendasar dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah SLB hanya menerima siswa yang berkebutuhan khusus (ABK), di dalamnya tidak terdapat anak-anak yang tidak mempunyai hambatan. Sedangkan sekolah inklusi adalah yang di dalamnya terdapat anak yang berkebutuhan khusus dan anak-anak yang tidak mempunyai hambatan.
Target Sekolah Inklusi
Target untuk anak yang berkebutuhan khusus (ABK) adalah sebagai berikut:
1. Interpersonal. Yaitu mengembangkan kemampuan interpersonal, yaitu memberikan kesempatan ABK untuk berinteraksi dengan lingkungan yang ‘normal’. Hal ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ABK. Pengembangan interpersonal inilah yang menjadi target terbesar untuk ABK. Jika seorang ABK sudah mampu dan tidak malu untuk berinteraksi dengan lingkungannya berarti sekolah inklusi itu berhasil.
2. Fokus. Yaitu melakukan intervensi terhadap fokus hambatannya, sehingga hambatan ABK dari tahun ke tahun dapat diperkecil.
3. Product. Yaitu target mengembangkan kemampuan maksimal ABK untuk memunculkan produk-produk yang mempunyai benefiditas, minimal untuk dirinya sendiri.
Target untuk anak yang tidak mempunyai hambatan adalah sebagai berikut;
1. Memberikan pemahaman dan pengalaman nyata kepada siswa-siswa yang lain bahwa di dunia ini berisi anak-anak yang berbeda, tidak ada yang sama. Sehingga anak-anak kita sangat peduli dengan perbedaan.
2. Membangun akhlak kepedulian dan toleransi terhadap teman yang mempunyai hambatan. Artinya kecerdasan interpersonal anak-anak kita juga akan terasah dengan mereka mempunyai sahabat anak-anak ABK.
3. Membangun nilai-nilai afektif yang sangat efektif.
Memang persiapan sumber daya manusia sekolah inklusi harus diperhatikan, antara lain:
1. Shadow Teacher, adalah guru pendamping yang mendampingi anak ABK dalam kelas reguler. Tugas shadow teacher adalah mereduksi indikator hasil belajar dalam bentuk IEP (Individualized Education Plan) dan ICP (Individual Curriculum Plan).
2. Terapis, adalah tenaga profesional yang membantu ABK sesuai dengan jenis hambatannya.
Menurut penulis, dan pengalaman banyak sekolah inklusi di Indonesia, sedikitnya tenaga-tenaga di atas menyebabkan sekolah inklusi mencari solusi yang terbaik. Hal ini wajar, sebab kebutuhan akan sekolah inklusi tambah lama tambah banyak. Anak-anak yang ABK terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Menurut Kepala Balai Pendidikan Khusus, Dinas Pendidikan Jateng, Susnadati, dari 37.000 ABK yang berada di wilayah Jateng sedikitnya ada 10.300 siswa yang telah mengeyam pendidikan secara layak. Sementara 26.500 ABK yang berada di usia TK, SD, SMP dan SMA belum mendapatkan pendidikan layak di sekolah inklusi maupun pendidikan luar biasa. Menurutnya, tingginya jumlah anak yang tidak bersekolah tersebut lantaran masyarakat masih menganggap anak tersebut sebagai aib keluarga. (Solo Pos, 17 Juni 2010).
Setiap Guru adalah terapis dan shadow
Sebenarnya kebutuhan tenaga terapis dan shadow teacher yang sangat minim dapat diatasi, apabila guru induk (main teacher) menguasai teknik-teknik dasar dan tingkat lanjut tugas shadow dan terapis. Saya pernah bertanya kepada Pak Ciptono, penulis buku best seller Guru Luar Biasa dan kepala sekolah SLB di Semarang, apakah bisa guru induk mempunyai kemampuan shadow dan terapis. Beliau menjawab sangat bisa asal gurunya ‘MAU’. Belakangan saya menyadarai maksud ‘MAU’ dari pak Ciptono itu adalah kepala sekolah dan guru harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Kepala Sekolah dan guru yang mempunyai paradigma bahwa setiap anak dengan segala macam kondisi berhak untuk sekolah.
2. Kepala Sekolah dan guru yang mempunyai paradigma bahwa setiap anak mempunyai multiple intelligennce yang beragam.
3. Kepala Sekolah dan guru yang mempunyai kesabaran dan ketekunan mendidik. Artinya profesi guru itu bersumber dari hati dan cinta kepada siswanya, bukan faktor yang lain. Jika kepala sekolah dan gurunya tidak mau repot, biasanya mereka akan gagal.
4. Kepala Sekolah dan guru yang ikhlas mengajar dan belajar, sehingga siswanya yang mempunyai hambatan malah menjadi sumber belajar.
Mungkin masih banyak lagi kriteria kemauan guru untuk menjadi GURUNYA MANUSIA. Apabila anda sebagai kepala sekolah atau sebagai guru merasa belum mampu menjadikan sekolah anda SEKOLAH INKLUSI dengan segala macam masalah dan alasan, maka itu sah-sah saja. Sebab hal ini terkait dengan visi dan misi sekolah. Namun alangkah indahnya jika kepala sekolah dan guru yang tidak siap dengan SEKOLAH INKLUSI, tidak memberikan informasi yang salah kepada masyarakat.
Praktis, jika semua guru mampu melaksanakan tugas shadow dan terapis, masalah jumlah yang tinggi ABK dapat tertampung pada semua sekoalh reguler.
Semoga dengan tulisan ini, kita semua sebagai insan pendidikan memahami tingkatan maqom sebuah sekolah. Percayalah maqom tertinggi dari sebuah sekolah itu adalah SEKOLAH INKLUSI. Nah ... setelah ini, saya mengajak semua komponen pendidikan untuk bersatu padu, bergandeng tangan untuk mendukung sekolah inklusi. Bukan sebaliknya mencerca sekolah inklusi, anti dengan sekolah inklusi.
Semoga Allah membangunkan istana di akhirat kelak untuk para kepala sekolah dan para guru yang dengan hati dan cinta membangun dan menyelenggarakan sekolah inklusi. Sebab nilai-nilai kemanusiaan akan terbangun dari sekolah-sekolah tersebut. Amin ya robbal alamien.
Wednesday, July 21, 2010
SEKOLAH INKLUSI, SEKOLAH MAQOM TERTINGGI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment